Minggu, 08 April 2012

Cinta Berbalut Duka


“ Engkaulah yang awal memetik dawai cintamu, kau janjikan harapan yang tidak aku mampu tolak. Katamu, engkau mencintaiku hanya karena Allah. Sesuatu yang dalam iman ku, adalah puncak kesucian segala cinta. Sungguh aku percaya, engkau akan mengajakku merendah mahligai rumah tangga di bawah naungan hidayah Allah. Tapi kini…..engkau sendiri yang menghempaskan harapan itu ”. Zahra memperlihatkan outbox SMS nya yang panjang kepadaku. Pesan itu Ia kirimkan kepada dokter Abdillah, kekasih yang kini membuatnya memendam kecewa yang begitu dalam.

Zahrah adalah seorang gadis berjilbab besar yang bekerja sebagai Apoteker, di Apotik Atirah yang kini menjadi tempat usaha sederhana milikku. Sosok gadis sederhana, santun dan hanya bicara seperlunya ini, dalam penilaianku adalah sosok pribadi muslimah yang ideal. Dia adalah pendatang di kotaku, karena mengikuti Kakak nya yang juga adalah seorang dokter di RS. Zahrah sesuai namanya, begitu
mengagumi Fatimah As Zahrah Putri tercinta Rasulullah. Perkenalannya dengan Abdillah yang bekerja sebagai Dokter Umum di sebuah Puskesmas Kecamatan, seminggu yang lalu terjadi kebetulan. Ketika itu dokter Abdi, datang ke apotik untuk memesan obat dan dilayani oleh Zahrah. Romansa percintaan singkat ini pun dimulai dari sini.

Dokter Abdi demikian aku memanggilnya, dalam persepsiku adalah pria yang terlihat begitu tawaddhu. Ia khas dengan celana panjang melewati tumit dan memelihara jenggot. Saya mengenal dokter Abdi dengan baik, karena Ibunya adalah teman kerjaku di kantor. Melihat gelagatnya yang saat itu gugup berhadapan dengan Zahrah, akupun iseng mengerjainya.

“ Dok, dari tadi saya liat dokter banyak bertanya kepada Zahrah. Sampai menanyakan umur segala. Maksudnya apa sih ? he he he “ tanyaku agak mengerjai.

“Akh, saya hanya ingin tahu,apakah saya harus memanggil Kakak atau Adik” dokter Abdi diplomatis menjawab, tapi tingkah gugupnya semakin terlihat sambil senyum-senyum tak jelas.

Saya yang dari tadi menyaksikan dialog diantara mereka, juga merasa unik. Kok, ada dua orang yang lagi berbincang tetapi tanpa melihat muka apalagi bertatap mata. Mungkin inilah cara perkenalan yang dalam batasan syariat dialog antar sesama yang bukan muhrim. Tidak seperti saya dulu, semasa berpacaran dengan Ari yang kini sudah menjadi suamiku. Menatap mimik mukanya, memperhatikan gerak rayuan bibirnya walau itu bohong, ketulusan yang terpancar di matanya adalah ritme indah yang menggetarkan jiwaku yang lagi jatuh cinta. Gaya perkenalan antara dokter Abdi dan Zahrah bagiku hambar. Dapatkah mereka merasakan getaran-getaran itu ?

Zahrah menjawab pertanyaan-pertanyaan dokter Abdi sambil menunduk melihat buku yang dipegangnya, sementara Abdi bertanya sambil melihat ke samping kanan. Tak ada kalimat satupun dalam ukuranku adalah sesuatu yang romantis. Percakapan diantara mereka seolah wawancara seorang dokter terhadap pasiennya. Mulai dari umur, tempat tinggal, kelompok kajian, alumni kampus mana sampai buku yang dipegang oleh Zahrah ditanyakan judulnya dokter Abdi.

“Dok, kenapa tidak menanyakan nomor teleponnya Zahrah. Itu yang lebih penting biar dialog ini berlanjut dengan sms” kataku sambil terus menggoda. Dokter Abdi, hanya cengar – cengir dan Zahrah semakin tertunduk. Mawar cinta diantara mereka, kelihatanya mulai mekar. Cinta yang aneh menurutku. Aku yang pernah terkulai kasmaran karena pandangan pertama, merasakan gelagat yang tersirat diantara mereka. Aku bahagia saja, kalau ternyata jodoh diantara mereka bertaut dan berlajut menjadi ikatan pernikahan, dambaan semua insan yang ingin mengabadikan cintanya. Bukan apa, saya juga merasa berjasa jikalau di apotik milikku itu, menjadi tempat dimana benih cinta diantara mereka disemai. Aku ingin menjadi penghubung tujuan mulia itu.

Dokter Abdi pulang, setelah sebelumnya meminta aku mengirim sms nomor handphone Zahrah kepadanya. Akupun kembali ke rumah tanpa menanyakan bagaimana pendapat Zahrah tentang dokter Abdi. Sebagai sesame perempuan, aku tahu apa yang bergelayut dibenak Zahrah. Pasti dia ingin diberi kesempatan untuk memaknai getaran-getaran itu. aku tak ingin menanyakan. Sekembali ke rumah malam itu, saya mendapat serangan sms yang bertubi-tubi dari dokter Abdi yang masih jauh lebih muda umurnya dari saya. Ia mengutarakan perasaannya kepada Zahrah melalui saya, yang ia anggap sosok perempuan yang ideal baginya. Tanpa canggung ia mengutarakan semuanya, mungkin karena aku dianggapnya sebagai Kakak, sehingga semua diungkapkannya. Aku kini resmi menjadi agen asmara diantara mereka. Terakhir Ia mengatakan, bahwa dalam keyakinannya tidak Ia kenal tentang pacaran. Ia ingin langsung menikah saja, biar terbebas dari fitnah dan jerat nafsu syaitan.

“Kak, Lina. Aku merasa cocok. Ta’aruf awalku sudah sempurna. Tinggal kini aku harus istikhara demi memantapkan niatku kepada Zahrah. Tolong Kak Lina menyampaikan kepadanya bagaiman responnya terhadapku. Saya tidak mampu menunggu lama jawabanya” Waktu itu, sudah menunjukkan pukul 00.03 tengah malam, ketika sms terakhirnya aku terima. Semua sms dr. Abdi aku forward ke Zahrah, dan aku minta ia tidak membalasnya karena besok aku akan bertemu langsung dengannya. Zahrah menurutinya dan tak merespon apapun. Saya tahu malam itu, baik Zahrah maumpun dokter Abdi sulit terlelap. Indahnya sesuatu yang terbayang, harapan yang masih tersisa cemas dan rancangan untaian kata yang akan mereka utarakan kepada masing-masing esok, adalah mungkin penyebab mengapa malam terasa begitu panjang.

Tak aku duga, kisah ini berlangsung begitu cepat. Esoknya, usai apel pagi di kantor. Ibu dari dokter Abdi mendatangiku. Ia menanyakan sosok gadis impian putranya. Bahkan ia memintaku untuk berbicara dengan Zahrah perkiraan uang belanja pesta walimah dan mahar yang dia inginkan. Wah, baru sehari perkenalan, tapi seolah minggu depan pesta akan berlangsung. Sepulang dari kantor aku menceritakannya kepada Ari suamiku.

“ Cinta itu memang aneh sayang…, dokter Abdi dan Zahrah itu pasangan yang tepat, jikalau dilihat dari ketekunan mereka ber ibadah. Pasti mereka telah menemukan petunjuk dalam sujud istikhara nya ” kata suamiku ketika itu. Ia pun mendorongku untuk terus melakukan langkah mediasi. Baginya, mempertemukan jodoh itu adalah mulia, karena pernikahan itu adalah ibadah jalan menyempurnakan separuh agama yang masih tersisa di masa lajang. Akupun semakin bersemangat. Aku bertemu dengan Zahrah dan menceritakan semuanya. Zahrah yang masih terlihat kebingungan itu, berusaha sembunyikan perasaannya kepadaku.

“Tidakah dokter Abdi salah memilihku Kak ? baru sekali ia bertemu denganku. Saya yakin, ia belum melihat rupaku yang jelek ini. Tapi kalau demikian adanya, berarti dokter Abdi adalah orang yang tidak mengukur perempuan karena tampak fisiknya” demikian ungkap Zahrah, merendah.

“Za, kau terlalu merendah. Lelaki siapa di dunia ini yang tak membanding calon pasangannya dari wajah. Itu manusiawi. Penilaian dokter Abdi terhadapmu, sama denganku. Selain karena Zahrah, muslimah yang tawaddhu, juga karena kamu memiliki wajah yang manis, begitu katanya”. Sebenarnya aku sedikit melebih-lebihkan, walau harus diakui Zahrah cukup ideal lah dari wajahnya yang begitu bersahaja. Tak apalah membuat orang bahagia. Zahrah nampak berbinar dan begitu berbunga-bunga. Zahrah hanya menerima perkataanku dengan senyum malu. Ia pun berjanji akan menyampaikan maksud dokter Abdi itu kepada keluarganya.

Singkat cerita, tiga hari telah berlalu. Sebagai penghubung saya tidak dilibatkan lagi. Mereka asyik saling mengagumi lewat short massage, sesekali dokter Abdi juga ke apotik dengan alas an membeli obat padahal aku tahu alas an itu klise. Dua apotik dia lalui dari tempat prakteknya. Dia sebenarnya hanya ingin bertemu dengan pujaan hatinya. Tapi, saya sih asyik-asyik saja. Sekali meng’gayus’ sampan dua buah pulau terlampaui. Mereka bahagia, akupun dapat omset. He he he.

Malam itu, tiba-tiba Zahrah memintaku untuk bertemu. Aku sebenarnya malas, mendengar cerita jatuh cinta nya yang berbunga-bunga itu, tetapi dia agak memaksa. Akupun menuju apotik, aku penasaran juga, apa gerangan isu hot terbaru yang dia ingin utarakan. Di ruang dokter praktek dokter apotik ku, kudapati dia tertunduk lesuh. Zahrah menangis, semakin kedekati dan kutanyakan masalah apa yang menimpanya. Semakin ia terseduh, dia hanya memberikan hanphone nya dan memperlihatkan sms dokter Abdi kepadanya.

“Zah, mungkin ta’arufku salah. Keluargaku tak berkenan aku bersanding denganmu. Demi Allah maafkan aku….” Aku terperanjat membaca sms dari dokter Abdi tersebut. Aku marah ! semudah itukah dia menghempaskan gadis baik-baik seperti Zahrah ini. Tidakkah dia yang memulai semua ini. Lantas ada apa dokter Abdi mengatakan bahwa cintanya kepada Zahrah hanya karena Allah. Pernahkah keluarganya beremu dengan Zahrah. Tidak, mereka belum pernah bertemu. Lantas mengapa mereka tidak sepakat, ketika Zahrah sudah menyampaikan maksud dokter Abdi ke keluarganya. Hatiku berkecamuk. Sebagai sesama perempuan, aku merasa terhina oleh sosok dokter berperawakan Ustadz, tapi mempermainkan perasaan perempuan itu. bukankah dosa, memberi seseorang harapan, kemudian secara tiba-tiba dia sendiri menghempaskannya. Ini tidak bisa diterima.

“Kak, saya tidak tahu apa yang harus aku sampaikan ke Ibu ku. Sekedar Kak Lina Tahu, seorang pria baik-baik juga datang melamarku dua hari yang lalu. Orang tuaku menolaknya, karena dokter Abdi. Aku mencintainya, tapi kini….” Air mata Zahrah, semakin deras. Ia tak mampu melanjutkan kata-katanya. Akupun berinisiatif menghamburkan sumpah serapahku ke dokter Abdi. Kuambil HP dan mulai mengetik sms. Agu geram, tapi berusaha sesantun mungkin berkomunikasi dengannya. Aku katakana semua kecewaku, walau diujung kalimatku aku masih meminta perubahan sikapnya, agar ia mau meralat kata-katanya. Aku ingin dan Zahra pun ingin, ini berlanjut.

“Maaf kan saya Kak Lina, saya telah shalat Istikharah dan memutuskan ini dengan bulat” jawab sms dokter Abdi, yang kini membuatku semakin geram. Cih, mengapa tidak sebelum kau menyatakan cintamu istikharah kau laksanakan. Mengapa setelah harapan itu terpahat, kau memutuskan hengkang dari apa yang telah aku mulai. Inilah yang membucah kecewa dalam diriku. aku tidak ingin membalas sms nya, karena tak ingin aku membuat dosa kepada lelaki brengsek itu. lelaki yang memang betul melaksanakan syariat dengan rutin, tetapi tidak membumikannya sebagai Rahmatan lil Alamin. Tidakkah Rasulullah, Sang pencinta sejati sangat menghargai perempuan. Mengapa dia tidak. Akh,

“Za, kau harus sabar adik. Saya tahu kau haqqul yaqin percaya jodoh adalah rahasia yang hanya Allah mengetahuinya. Kau telah berusaha dan berdoa, tapi Allah pasti tahu apa yang terbaik buat hamba Nya. Ini ujian buatmu, sabarlah”. Tak mampu rasa ini untuk tidak turut bersedih, aku menangis.

“Betul Kak, aku sadar bahwa kehormatanku sebagai perempuan, pantang kembali mengemis kepada nya. Biarkan cintaku ini, kuserahkan kepada Allah, yang karena hanya Allah SWT alas an penerimaan cintaku kuberikan kepada nya. Semoga dokter Abdi mendapatkan jodoh yang lebih baik dari aku, yang ternyata aku buta mencintai nya” kata Zahrah sambil menghapus air matanya. Ia berusaha tegar, tapi nampak betul terlihat guratan kesedihan di wajahnya. Wajah yang hatinya terluka.

“Ya Allah, saya tahu Engkau adalah sumber segala cinta. Engkau Maha Pengasih. Maha Adil, Maha Segala Maha dari semua kebaikan. Berilah keadilan kepada Zahrah, perempuan yang hanya menyambut cinta dengan tulus tanpa bertanya, tapi dihempaskan oleh lelaki tanpa diberi kesempatan untuk menjawab” doakau mnyusup disanubariku yang dalam. Doa empati buat Zahrah, gadis yang membungkus kehormatannya dengan jilbab yang mulia, yang karena cinta, air matanya berderai penuh duka yang mengiris bak sembilu. Tuhan dengarlah Aku, kumemohon kepada Mu.

Andi Harianto

Sebuah kisah nyata, dari nama-nama rekaan yang aku buat. Diceritakan oleh Istriku, kekasihku, yang dari awal aku mencintanya juga karena Allah SWT, tetapi tidak semunafik seperti cinta yang diberikan dokter Abdillah terhadap Zahrah. Kisah ini, masih sehari berlalu…..mungkin ada episode berikutnya yang lebih menarik dan layak aku kabarkan ke sahabat-sahabat kompasianerku. Entah, apakah Abdillah, meralat kata-kata nya. Kita tunggu…….

0 komentar: